The Brief History of Dance: Menyibak Sejarah Kota/Kampung dari Kenangan Para Aktor

Enam tubuh berbeda, enam latar belakang yang tidak sama, dan segudang ingatan tentang masa lalu hingga hari ini menjadi narasi utama dalam karya pertunjukan The Brief History of Dance, yang dipentaskan pada Senin malam, 19 Mei 2025 di Aula Rumah Jabatan Bupati Sikka.

Karya kolaborasi antara sutradara Ari Dwianto dan Studio Teater KAHE ini berhasil mengajak penonton menyelami riwayat perubahan sosial, budaya, dan identitas melalui tubuh-tubuh yang hidup di tengah denyut kota Maumere dan sekitarnya.

Pertunjukan yang berlangsung selama dua jam ini menampilkan enam aktor lintas usia dan generasi: Michael Eduard Gaja Seto (Megs), Yenti Andriana Nino (Yenti), Silvy Chipy (Silvy), Kristina Beatrix Tethy Nong Goa (Kikan), Yasinta Aprilia Carmela Mude (Intan), dan Hironimus Huku (Rizal).

Masing-masing mereka membawa serpih kisah dari masa kecil dari kebiasaan di dalam dan lingkungan rumah, menonton video alkitab sepulang gereja, mitos-mitos horor urban, kenangan tentang televisi dan VCD pertama, hingga pengalaman bermain bersama teman di tanah lapang sambil berbalas pantun di bawah bulan.

Narasi pertunjukan bergulir ke masa ketika VCD menggantikan kaset pita, lalu berganti menjadi MP3 player, hingga akhirnya datang handphone canggih beraneka merk. Hiburan bergeser dari kebersamaan menuju kesendirian di ruang digital.

Dalam suasana pertunjukan yang hangat dan jujur, para aktor membagikan cerita tentang bagaimana hiburan berubah dari radio drama menjadi televisi, lalu ke handphone dan media sosial. Dari baju-bajuan dan piknik rohani ke game online dan selfie.

“Waktu sepeda datang, semuanya berubah,” ucap Megs, menjadi penanda fase transisi dalam hidup mereka. Kehadiran sepeda bukan hanya kendaraan, melainkan lambang dari mobilitas sosial dan perluasan dunia.

Lebih dari sekadar nostalgia, The Brief History of Dance menyingkap bagaimana tubuh menjadi arsip hidup yang menyimpan jejak-jejak pergeseran nilai, gaya hidup, hingga cara memandang negara dan kota.

Dalam satu fragmen, para aktor memerankan suasana menonton video dan film yang disebut erotis secara diam-diam- menunjukkan bagaimana ketegangan antara rasa ingin tahu dan batas-batas moral terbentuk sejak dini dalam ruang domestik.

“Dulu, indikator kaya itu punya parabola dan TV,” ujar satu aktor lainnya, memancing tawa sekaligus refleksi.

Yang menarik, The Brief History of Dance tidak hanya bicara soal teknologi atau hiburan, melainkan juga menyentuh lapisan yang lebih dalam: soal kesenjangan antargenerasi.

Lewat percakapan, para pelakon menunjukkan bagaimana generasi babby boomer, milenial, Gen Z, hingga Gen Alpha memiliki cara pandang yang berbeda terhadap negara, pemerintah, dan kehidupan sosial. Presiden berganti. Pemimpin daerah pun berubah. Tapi apa yang tersisa dalam ingatan warga? Apa yang tetap tinggal dalam tubuh mereka? Apa yang membentuk pengalaman mereka?

Di antara tawa atas kenangan lucu di sekolah, kisah tentang artis multitalenta Agnez Mo, kaset pita, bioskop kecil di kota, kepala desa, dan sepeda masa kecil, terselip pula percakapan tentang kemanusiaan, sejarah, dan budaya yang mulai ditinggalkan.  Ada kepedihan yang samar ketika seorang pelakon mengucapkan, “Kami berhenti bermain ketika televisi datang.”

Kalimat itu seperti peringatan diam tentang betapa cepat dunia berubah dan bagaimana tubuh-tubuh itu menanggung ingatan perubahan itu.

Meski dilatarbelakangi oleh sejarah dan identitas lokal Maumere dan sekitarnya, narasi yang dibangun memiliki resonansi universal.  Studio Teater KAHE dan Ari Dwianto menghadirkan bukan hanya pertunjukan, tetapi juga ruang dialog antargenerasi. Di tengah kelangkaan taman bermain dan bioskop, pertunjukan ini menjadi ruang alternatif untuk membuka percakapan tentang perubahan sosial dan budaya yang tidak selalu nyaman, tetapi perlu dihadapi bersama.

Pertunjukan ini tidak menawarkan jawaban. Ia justru membuka ruang bagi kita untuk mendengar ulang masa lalu, memandang masa kini, dan membayangkan masa depan dari tubuh-tubuh yang berbeda, tapi saling terhubung.

Karya ini merupakan bagian dari program residensi kolaboratif antara seniman dan komunitas teater, yang diharapkan dapat memperkaya ekosistem seni pertunjukan di Kabupaten Sikka dan sekitarnya.

Masyarakat Maumere diajak untuk tidak hanya menjadi penonton, tapi juga menjadi saksi dari perjalanan kolektif kota ini-sebuah perjalanan yang penuh tawa, kerinduan, konflik, dan perubahan. Sebuah pengingat bahwa sejarah tidak hanya ditulis oleh teks, tetapi juga oleh tubuh yang bergerak, pengalaman sehari-hari, dan diri yang senantiasa bertanya.

Lewat gerak, kata, dan keheningan di sela-sela pertunjukan, para pelakon mengajak penonton untuk mengingat, mempertanyakan, dan mungkin – berdamai. Bahwa apa yang kita alami hari ini adalah juga hasil dari perjalanan panjang kemarin.

Share :

5 1 vote
Article Rating
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x