Terima Kasih Sudah Membawa Film Turang ke Maumere

Tidak pernah terlintas dalam pikiran bisa menonton film Turang pada Kamis malam, 15 Mei 2025 di Aula Biara Karmel Wairklau, Kota Maumere, Kabupaten Sikka.

Sebelumnya, saya pernah melihat poster film ini lewat sambil lalu di media sosial, sebelum akhirnya muncul lagi dalam agenda program Maumerelogia 5 yang digelar 15-24 Mei.

Poster Turang muncul lagi dalam program KAHE Cinema yang merupakan salah satu agenda Maumerelogia 5 yang diinisiasi Komunitas KAHE.

Menariknya, Bunga Siagian, putri dari sutradara Turang–Bachtiar Siagian– datang langsung ke Maumere dan memberikan pengantar tentang film yang dirilis tahun 1957 ini.

Bachtiar dan karya-karya filmya memang menghilang dari sejarah karena sutradara kenamaan itu dituduh terafiliasi dengan Lekra, organisasi sayap PKI.

Pada tahun 2015, Bunga memulai pencarian film-film karya ayahnya. Film legendaris yang pernah mendapat penghargaan Pekan Apresiasi Film Nasional–cikal bakal Festival Film Indonesia, akhirnya ditemukan di Moskow, Rusia.

Film ini menawarkan perspektif lain dari sejarah revolusi di Indonesia. Heroisme diperjuangkan oleh keluarga biasa di sebuah desa pelosok Sumatera, jauh dari ingar bingar kota. Perpaduan adat istiadat, keindahan alam Sumatera dan cerita revolusi divisualisasi dengan apik bergaya realis.

Isi film ini membuat saya tertegun, mengisahkan perjuangan warga dan sekelompok tentara Indonesia melawan agresi Belanda di tanah Karo, Sumatra Utara.

Turang membiarkan saya melihat lebih jauh bahwa perjuangan melawan penjajahan tidak hanya dilakukan militer tetapi rakyat sipil; mulai dari perempuan, orang tua hingga anak-anak. Mereka bisa menjadi pembebas di tanah mereka sendiri.

Juga kisah cinta Tipi dan Rusli juga mewarnai cerita film ini. Unik dan berbeda dengan film heroik Indonesia yang pernah saya tonton. Meski masih bergambar hitam putih, alur dan konfik dalam film ini justru mampu memainkan perasaan penonton. Saya sendiri menikmati tegangan-tegangan cerita di dalamnya.

Dalam keadaan terluka parah dan tidak dapat melanjutkan perjuangan, rekan-rekan Rusli menyembunyikannya di desa Seberaya, yang terletak di wilayah Belanda. Tipi dan ayahnya, kepala desa, dipercayakan untuk menjaga keselamatan dan pemulihan pejuang tersebut. Konflik makin meningkat saat ayah Tipi ditangkap Belanda di saat benih-benih cinta tumbuh di antara Tipi dan Rusli. Film ini ditutup dengan pertempuran antara para pemuda pejuang dan Belanda. Desa itu dihujani bom dan peluru. Mayat-mayat bergelimpangan.

Karena penasaran, saya kemudian mencari-cari informasi tambahan, dan ternyata 95 persen pemain dalam Turang adalah orang lokal setempat. Ini hal yang mengejutkan saya.

Hal lainnya, film ini juga ternyata diputar kembali dalam rangka peringatan 70 tahun Konferensi Asia Afrika.

Kualitas Turang memang ada pada kemampuan storytelling para aktornya. Kelihatan begitu natural. Sudut pandang warga betul-betul ditonjolkan. Ceritanya kuat. Menurut saya, ini kekuatan yang membuat kekurangan-kekurangan teknis visual karena keterbatasan teknologi kala itu menjadi tidak relevan lagi dibicarakan.

Sebagai arsip sejarah yang berharga, saya kira, adalah sebuah kehormatan film ini bisa ditayangkan di Maumere dan saya salah satu orang yang beruntung bisa menonton Turang.

Tentu saja, kepada Komunitas KAHE, terima kasih sudah membawa film ini ke Maumere. Dan, hormat setingg-tingginya untuk Bunga Siagian, yang sudah bekerja keras menemukan kembali Turang.

Panjang umur perjuangan.

Share :

0 0 votes
Article Rating
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x