Menulis Maumere, Membongkar Penindasan dan Ketidakadilan Gender

“Kota, tidak selalu dirancang untuk perempuan. Kita hidup dalam keterbatasan-keterbatasan yang tercipta secara struktural,” ungkap Khanis Suvianita, dalam Workshop Menulis Kota dengan Perspektif Gender yang diselenggarakan oleh Komunitas KAHE, pada 7-9 April 2025, di Auditorium Maximum Kampus 2 IFTK Ledalero. 

Workshop ini menghadirkan dua fasilitator, yaitu Khanis Suvianita, peneliti dan dosen IFTK Ladeloro, dan M Aan Mansyur, penulis dan Direktur Makassar International Writers Festival (MIWF). Ada 15 peserta yang mengikuti workshop ini, berlatar belakang mahasiswa dari IFTK Ledalero, Universitas Nusa Nipa, Universitas Muhammadiyah Maumere dan jurnalis. 

Dalam teks kuratorial yang dirilis, workshop ini ingin memperjelas bagaimana media pun berpengaruh terhadap produksi wacana tentang kota dan gender di Maumere. Pemberitaan kasus kekerasan di kota tertentu yang terus terjadi akan mereproduksi kota sebagai ruang yang berbahaya bagi perempuan dan minoritas gender.

Workshop ini dirancang sebagai kebutuhan untuk melihat bagaimana kota, ruang hidup, ruang aktivitas, bahkan wacana, tidak selalu berperspektif perempuan. Ada banyak perangkat penindasan yang tersembunyi di balik kebijakan, rancangan, bahkan pola pergaulan juga paradigma sosial, yang turut memperkuat batasan, atau ketidakadilan itu. 

Workshop ini dinisiasi untuk menciptakan ruang percakapan mengenai kota dan gender, juga dengan pertimbangan; belum banyak media termasuk platform media sosial yang menciptakan percakapan mengenai kota yang aman bagi perempuan dan minoritas gender.

Hari pertama, Khanis Suvianita membuka kelas dengan materi dasar tentang SOGIESC (Sexual Orientation, Gender Identity, Gender Expression, and Sex Characteristics). Materi ini dipaparkan dalam sesi workshop supaya peserta bisa melihat keberagaman manusia. 

Selanjutnya Khanis mengajak penulis dengan percakapan soal kota Maumere, mengajak peserta untuk membuka lagi pengalaman mereka selama hidup di Maumere. Merasakan cuaca, melewati jalanan kota, belajar di kampus, serta semua fasilitas publik yang didapatkan. Pengalaman-pengalaman itu, menjadi awal, peserta masuk untuk melihat kota dalam perspektif gender.

“Kita hidup di kota yang sering dibangun dan direncanakan dari sudut pandang laki-laki,” kata Khanis.

Dia melihat kota digerakkan dengan logika kemajuan, mengejar infrastruktur dan investasi, tetapi lupa pada kebutuhan mendasar yang lebih manusiawi, yaitu  rasa aman, kenyamanan, aksesibilitas, dan ruang untuk merawat.

Menurut Khanis, menulis kota dari perspektif perempuan membuka kemungkinan untuk membayangkan kota yang berbeda. Kota yang memperhatikan emosi, waktu, dan beban ganda yang sering dialami perempuan. Kota yang tidak hanya mengukur sukses dari seberapa tinggi gedungnya, tetapi seberapa hangat ruang interaksinya. Bukan kota yang keras, tapi kota yang peduli.

Pada hari kedua, para peserta dibagi dalam tiga kelompok, yang akan disebar pada beberapa titik, yaitu Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Maumere, Pasar Tingkat, dan Pasar Alok.

Peserta diarahkan untuk melihat, merasakan–tidak hanya dengan perspektif investigatif–tetapi juga melihat ruang-ruang ini dengan membawa pengalaman atau identitas mereka sebagai warga. Melihat ruang-ruang perempuan, laki-laki, pengunjung, membandingkan, juga intens melihat mendengarkan percakapan warga, merasakan interaksi antara warga, juga hal-hal kecil, yang terkadang luput dari perhatian. Para peserta memulai kegiatan ini dari jam 6 pagi, kemudian kembali dan mendiskusikan temuan-temuan atau hal-hal yang menjadi ide penulisan mereka. 

Aan Mansyur, mengisi kelas di hari kedua, dengan membicarakan konsep yang disebutnya sebagai ‘Keadilan Verbal’.

Aan memulainya dengan menegaskan fungsi bahasa, yang tidak bisa dianggap sebatas alat komunikasi. Bagi Aan, bahasa itu tidak pernah netral. Ia bukan cuma alat komunikasi, tetapi juga alat kekuasaan.

Dalam sejarah panjang kolonialisme dan dominasi budaya, bahasa sering dipakai sebagai senjata yang halus tapi sangat efektif untuk mengendalikan, membentuk cara berpikir, bahkan memperlemah identitas masyarakat minoritas, atau marjinal.

Aan mengulas bagaimana perangkat bahasa bukan sekadar kata, tapi cara melihat dunia. Ketika  membedah tentang bagaimana suatu suku punya puluhan kata untuk “hujan” atau “laut”, itu bukan berlebihan—itu menunjukkan betapa pentingnya elemen itu dalam hidup mereka.

“Ketika bahasa asing menggantikan bahasa lokal, yang berubah bukan cuma kata, tapi juga cara berpikir, cara merasakan, dan cara memaknai hidup. Kita bisa jadi asing di tanah sendiri karena mulai berpikir dengan logika luar. Dan ketika kita tidak bisa lagi menamai sesuatu dengan bahasa kita sendiri, perlahan kita kehilangan kuasa atas realitas itu,” ungkap Aan.

Dia ingin memperkenalkan konsep ini, sebagai suatu cara untuk mengupas lapisan-lapisan penindasan yang bersemayam dalam cara berpikir masyarakat, baik sebagai penulis dan warga. Menurut Aan, penting untuk melihat, bahwa terkadang, dengan bahasa, kita justru memproduksi ketidakadilan baru, yang sebelumnya ingin dilawan. Sistem sosial yang timpang, bisa saja diteruskan dalam bentuk-bentuk yang lebih subtil, melalui cara berpikir, cara merasakan, juga cara menulis. 

Selanjutnya, para peserta workshop akan membuat tulisan yang akan dimentori oleh Khanis Suvianita dan Aan Mansyur dan akan diterbitkan pada website Lau Ne, maumerelogia.com, dan After 7PM. Kelompok penulis ini juga akan mengisi salah satu acara di festival Maumerelogia 5.

Share :

5 1 vote
Article Rating
guest
2 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Kelompok Tani Maurole
Kelompok Tani Maurole
10 days ago

Ulasannya bagus sekali

Ellyne
Ellyne
10 days ago

Kerennn man

2
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x