Menjadi Batu Penjuru: Pon Daisy dan Fondasi Suara yang Jujur

“Andai ikhlas tak ada, kau kan kukejar sampai maut”- Daisy Ku, Pon Daisy

Lantunan lagu dari grup musik Pon Daisy dan penggalan-penggalan puisi M Aan Mansyur membuat suasana terasa hangat nan romantis di Kafe Mof Mofers, Sabtu, 12 April 2025. Panggung yang disiapkan Komunitas Kahe memang spesial untuk Pon Daisy dan penyair M Aan Mansyur. Puluhan orang hadir dalam Jamming Sastra #11 untuk mendengar secara langsung Pon Daisy menyanyikan Prolegomena dan lagu-lagu hits mereka serta pembacaan puisi Aan Mansyur.

Acara bertajuk Prolegomena: Pon Daisy Dari Dekat Sekali itu bukan sekedar pertunjukan musik. Ini tentang bagaimana puisi, kerinduan, dan akar budaya bertransformasi menjadi bunyi yang hidup. Pon Daisy tidak hanya tampil sebagai penghibur, mereka hadir sebagai bagian dari narasi yang lebih besar, bagaimana musik mampu menjadi perluasan dari teks, dari rasa, dari identitas yang sering kali dibiarkan samar.

Dalam bincang-bincang bersama host Kartika Solapung, tiga punggawa Pon Daisy–Ari, Rio dan Obedo–menceritakan hasrat mereka bermusik di Kota Maumere.

Obedo merupakan inisiator awal terbentuknya Pon Daisy setelah sekian lama bermusik dan menjadi penggebuk drum. Obedo mengajak Rio yang lihai membetot gitar bas empat senar, karena menurut mereka, drummer dan bassist merupakan fondasi dalam sebuah band, menciptakan ritme yang solid dan stabil. Nama Pon Daisy pun dipilih, berasal dari kata fondasi.

Kini Pon Daisy beranggotakan Obedo (vokalis), Rio (Bassist), dan Ary (Gitar). Ketiganya menjadi ‘Batu Penjuru’ dalam band ini, sebuah istilah yang kemudian menjadi judul mini album pertama mereka.

Lagu Raja Rimba yang pernah dibawakan di acara Flores Writers Festival di Larantuka kini  kembali berkumandang di Maumere, menggemakan semangat rimba yang liar namun jujur. Sebuah lagu yang mewakili Pon Daisy secara esensial; liar namun terarah, sederhana namun intim.

Obedo tak bisa berjalan sendirian. Setiap ide didiskusikan bersama, menghasilkan karya yang tidak hanya bernuansa musikal tapi juga naratif. Seperti halnya Rindu Pulang, single terbaru yang ditulis Obedo sejak tahun 2013 di Bali, saat kerinduan akan Maumere mendesak keluar dalam bait-bait lagu. Lagu ini menjadi semacam genesis perjalanan musik Obedo, yang kemudian menjadi langkah awalnya bersama Pon Daisy.

Pada September 2024, lahir tiga lagu dalam album Batu Penjuru: Daisy Ku, Insomnia, dan Prolegomena. Proses penciptaan dan penulisan lirik lagu Daisy Ku pun terbilang sangat singkat, Obedo menulisnya hanya dalam waktu satu malam, yang kemudian digarap oleh Rio dan Ary di studio rekaman kurang lebih satu minggu.

Prolegomena yang jadi hits andalan mereka merupakan alih wahana dari puisi karya Erich Langobelen berjudul Sepasang Kita Yang Tak Mungkin Ada. Ini adalah cerminan bagaimana sastra dan musik bertaut di tubuh Pon Daisy.

Sosok di balik lagu Prolegomena sendiri adalah Rio. Pada masa pandemi Covid-19, Rio dan Ricky Alvino, drummer Mood Breaker, menemukan buku puisi Erich Langobelen di perpustakaan kecil Studio Komunitas KAHE. Buku puisi ini menarik perhatian Rio dan jadilah Prolegomena.

Awalnya lagu ini direkam dengan sentuhan irama reggae, tetapi kemudian diubah menjadi pop-folk saat bertemu Obedo dan Ary. Prolegomena merupakan peluru dalam mini album pertama Pon Daisy.

Penyair Aan Mansyur yang hadir dalam acara ini juga mengapresiasi kegigihan Pon Daisy dalam bermusik.

Aan Mansyur menyadari adanya kecemburuan akan sapaan atau nama yang dilabelkan pada pekerja kreatif baik secara individual ataupun kolektif, seperti seorang pemusik dapat dikatakan ‘pemain musik’, seorang dalam bidang sepak bola dapat dikatakan ‘pemain bola’ namun bagaimana jika mereka yang berpuisi? apakah dilabeli dengan ‘pemain kata?

“Bukankah label tersebut terdengar sangat gombal?” ujar Aan diikuti tawa renyah para penonton.

Lebih jauh, menurut dia, musik Pon Daisy terdengar begitu sederhana namun sangat prinsipil. Baginya, puisi yang memiliki sense musikal bisa diubah bentuknya menjadi lagu, dan itu adalah bentuk apresiasi tertinggi terhadap puisi itu sendiri.

Kehadiraan Pon Daisy, seperti kata Aan, sekaligus membantah penafsiran tunggal orang luar terhadap warna musik Maumere. Mereka menolak stereotipe tunggal, memperlihatkan bahwa Maumere memiliki banyak warna, banyak suara, dan banyak kemungkinan. Dalam konteks ini,  Pon Daisy tidak hanya membuat lagu, mereka menciptakan narasi tandingan, counter narrative, terhadap pandangan luar yang menyederhanakan tempat mereka berasal.

Dan bergitulah Pon Daisy terbangun dalam realitas sosial. Lirik mereka berasal dari keseharian, dari hal-hal yang dekat, sederhana, namun mampu mengetuk hati. Mereka tidak mencari siapa yang akan mendengar teriakan mereka dalam karya yang dihasilkan, mereka hanya ingin terus berkarya. Dan barangkali, itulah fondasi suara yang jujur dari sebuah karya seni.

Malam itu, Anggota Studio Teater Kahe, Rendy Bogar, Evan Mira, Eka Putra Nggalu, Khanis Suvianita dan beberapa penonton membacakan sejumlah puisi dari buku-buku Aan Mansyur. Sang penyair juga membacakan puisi-puisinya yang sudah pernah diterbitkan dan yang belum diterbitkan.

Share :

5 5 votes
Article Rating
guest
8 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Om rio
Om rio
5 months ago

Hormat🌼

Benita
Benita
5 months ago

Keren

Qikan
Qikan
5 months ago

🥳🥳 bagooosss skaleee🌼🌼

Benedkristina
Benedkristina
5 months ago

Jayaa terus

Kamala
Kamala
5 months ago

Keryn keren

Dixxxie
Dixxxie
5 months ago

Mad luv 🔥

1000121476
petani wolokoli
petani wolokoli
5 months ago

keren tulisannya

Dessi Fatmawati
Dessi Fatmawati
5 months ago

Keren banget nih

8
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x