Melodi Kota #2 : Musik Eksperimental di Jalanan Kota Maumere

Suasana Jalan El Tari, Maumere berubah menjadi ruang eksplorasi bunyi-bunyian, suara, dan keresahan sosial.

Perhelatan “Melodi Kota #2” dari rangkaian acara Maumerelogia 5 menghadirkan tiga orang musisi eksperimental: Rani Jambak, Tantis Huller, serta Leilani Hermiasih yang dikenal dengan nama panggung Frau.

Digelar di ruang publik yang menyatu dengan suasana kota, pertunjukan musik ini berhasil menarik perhatian masyarakat Maumere dari berbagai kalangan, pada Minggu, 18 Mei 2025.

Meski sebagian besar nama musisi yang tampil belum familiar di telinga warga lokal, antusiasme penonton tetap tinggi. Banyak dari mereka yang datang karena rasa ingin tahu terhadap pertunjukan musik eksperimental yang masih tergolong langka di NTT.

Pertunjukan dibuka oleh Rani Jambak, musisi asal Sumatra Barat yang dikenal karena pendekatan artistiknya dalam menggabungkan elemen tradisional dan isu sosial.

Rani memulai penampilannya dengan alunan soundscape air mengalir, disusul dentingan dari replika kincir air tradisional Minangkabau. Lagu berjudul Kincia Aia atau Kincir Air merupakan salah satu karya masterpiece-nya.

Lagu berikut berjudul “Malenong (M)aso” yakni memutar waktu dan asal, menyampaikan pesan tentang krisis air dan perubahan iklim global.

Selanjutnya, lagu “Luhur Menghilang” mengajak penonton merenungkan pentingnya air sebagai sumber keluhuran dan kehidupan.

Penampilan Rani ditutup dengan karya berjudul “Jalan Gajah”, yang menghadirkan suara-suara keseharian, seperti anak-anak bermain, ibu-ibu PKK bercengkerama, dan bel es krim jalanan—semuanya diramu menjadi satu komposisi yang memikat secara estetis maupun intelektual.

Rani mampu menangkap suara keseharian yang terdengar biasa dan jarang dipedulikan menjadi suatu maha karya yang menghipnotis sekaligus membawa dampak, membuka pikiran penonton tentang bagaimana menyadari dan mensyukuri hal-hal kecil yang ada di sekitar kita.

Rani jambak berhasil membawa penonton mengalir ke tempat leluhur melalui karyanya sekaligus menyadarkan penonton untuk bersiap menjadi leluhur masa depan dengan segala konsekuensi yang dilakukan di hari ini.

Setelah Rani, panggung menjadi milik Tantis Huller dan rekannya Amos. Melalui “The Sound of the Road,” Tantis mencoba merekonstruksi warisan musik Solor, Flores Timur, “lian namang”—sebuah tradisi menyanyi dan menghentakkan kaki yang nyaris punah.

Tantis memadukan pekikan dan hentakan kaki dengan elemen elektronik seperti permainan gitar dan bass, menghasilkan musik hibrida yang unik.

Dia menyebutnya quarter tone, microtona, teknik musik yang belum umum di telinga masyarakat awam namun sangat kuat dalam menyampaikan keresahan budaya.

Musisi yang pernah menempuh pendidikan di STFK Ledalero ini berhasil membuat penonton yang tadinya tersesat dalam lantunan musik Minangkabau kembali pulang ke Flores, mengalir bersama musik eksperimentalnya melalui jari jemari, melalui hentakan kaki, melalui pekikan seolah berteriak mengajak kita semua untuk mempertahankan warisan leluhur yang kini menghilang dirampas modernitas.

Sebagai penutup malam, Leilani Hermiasih atau tampil dengan penuh penghayatan melalui proyek musik solonya, Frau.

Suara piano dan vokalnya yang lembut namun tajam menyentuh sisi emosional penonton. Dalam lagu-lagu seperti “Cucuku” dan “Kabut Putih”, Frau mengangkat tema tragedi 1965 dengan pendekatan yang personal dan reflektif. Karya lainnya, “Layang-Layang”, menggambarkan kegagalan dan kehilangan dari sudut pandang yang intim.

Dalam penampilan terakhirnya, Frau berbagi panggung dengan Ugoran Prasad—akademisi, dan vokalis Majelis Lidah Berduri.

Mereka membawakan “Bioskop, Pisau Lipat” dan “Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa”, dua lagu dengan nuansa sastra yang kental dan daya pikat lirik yang kuat. Penampilan duet ini menjadi klimaks acara dan meninggalkan kesan mendalam bagi seluruh penonton.

Melodi Kota #2 membuktikan bahwa musik eksperimental mampu menjadi medium yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan budaya.

Ia bukan sekadar bentuk hiburan, tetapi juga ruang dialog lintas identitas dan refleksi sosial. Bagi banyak penonton, terutama yang baru pertama kali menyaksikan jenis musik ini, acara tersebut menjadi pengalaman yang membuka cakrawala baru tentang kekuatan musik sebagai medium penyadaran dan pelestarian budaya.

 

Share :

5 1 vote
Article Rating
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x