Melacak Koreografi Sosial Maumere: Siasat di Balik Perarakan Patung Bunda Maria dan Tradisi Pesta

Perarakan Patung Bunda Maria setiap bulan Mei di Maumere bisa dilihat sebagai upaya umat melawan otoritas Gereja Katolik yang hirarkis. Bila dalam perayaan ekaristi setiap Hari Minggu, peran pastor sangat dominan dan umat hanya mengikuti ritus, maka dalam perarakan Patung Bunda Maria, umat mengambilalih peran menuju ‘jalan keselamatan’.

Di dalam perayaan ekaristi, umat seolah-olah menggantungkan keselamatan jiwanya hanya kepada pastor. Sementara perarakan Patung Bunda Maria merupakan pengalaman iman personal masing-masing umat. Umat bergerak secara spontan. Ini suatu gerakan religius populer dan dasarnya adalah pengalaman iman umat yang sangat pribadi. Ini perlawanan tersembunyi dari umat sederhana terhadap otoritas gereja.

Pater Ve Nahak, SVD merefleksikan hal ini saat dia melacak tiga tipe koreografi sosial.

Pertama; koreografi sosial yang digerakkan oleh tradisi/budaya dan diwariskan begitu saja oleh masyarakat. Misalnya, ritus adat antar belis dari keluarga mempelai laki-laki kepada keluarga perempuan.

Di dalamnya terdapat elemen-elemen simbolik yang dipahami bersama seperti lima ekor kuda di depan rumah, kerumunan orang yang mengenakan atribut-atribut tradisional, atau kumpulan tandan pisang di dalam mobil pikap. Sebagai orang Maumere, elemen-elemen yang nampak (visible) ini bisa langsung dikaitkan dengan prosesi pengantaran belis tanpa perlu banyak penjelasan lagi.

Kedua; koreografi sosial yang didorong oleh negara. Dalam konteks ini, Pater Ve juga meyinggung irisan antara tata perayaan upacara bendera yang dilakukan negara dan tata perayaan di dalam liturgi gereja.

Seperti baris berbaris dalam upacara bendera yang diikuti dengan patuh oleh warga negara, umat juga patuh mengikuti ritus-ritus dalam liturgi gereja. Irisan antara kepatuhan terhadap negara dan gereja cukup tebal, dan ‘militeristik’. Lalu, hari-hari ini di Maumere, gereja tampil dengan wajah ‘buldoser’ dan celakanya orang merasa itu hal yang wajar.

Ketiga; koreografi sosial yang digerakkan oleh agama. Dalam konteks ini Pater Ve menguraikan tentang prosesi perarakan Patung Bunda Maria sebagai sebentuk perlawanan umat terhadap otoritas gereja seperti yang dijelaskan di atas. Akan tetapi, lebih jauh, Dosen Kitab Suci IFTK Ledalero ini juga menyebutkan, koreografi sosial dengan motif agama juga bisa dipakai sebagai alat protes terhadap ketidakadilan.

Dia menceritakan pengalaman pribadinya saat mengikuti Jalan Salib di tengah Kota Maumere untuk memprotes hukuman mati terhadap Fabianus Tibo, Marianus Riwu dan Dominggus da Silva pada tahun 2001.

“Salah satu jalan salib terbaik yang pernah saya ikut,” ucap Pater Ve dalam acara Kulababong bertajuk Koreografi Sosial dan Siasat Kewargaan di Kantin Kampus 1 IFTK Ledalero, Jumat, 4 April 2025. Kulababong juga menghadirkan seniman dari Komunitas KAHE Eka Putra Nggalu sebagai pembicara dan Kartika Solapung sebagai pemandu.

Eka Putra Nggalu memantik forum dengan menjelaskan apa itu koreografi sosial melalui pertanyaan kritis: Mengapa kita patuh dalam pola gerak bangun pagi, mandi, sarapan, memakai seragam, lalu berangkat ke sekolah? Apa yang membuat kita patuh berbaris di depan kelas, duduk di depan kelas berjam-jam, lalu mengulanginya terus selama bertahun-tahun? Atau kenapa warga Maumere lebih memilih beli ikan segar di Pasar Wuring yang dikelola komunitas masyarakat daripada di Pasar Alok yang dibangun pemerintah? Apa yang membuat kita bergerak? Kita memilih Prabowo itu digerakkan atau ada otoritas yang menggerakkan?

Koreografi Sosial, kata Eka, merujuk pada suatu praktik dan/atau usaha untuk mendorong terjadinya pergerakan intersubjektif warga dalam mengisi ruang.

Dia lalu sampai pada kesimpulan kalau koreografi sosial tidak bisa berdiri sendiri, dia akan bekerja dengan memakai pendekatan lintas disiplin; analisis sosial, gestur dekolonial atau cultural studies.

“Koreografer sosial merupakan lensa/cara baca/paradigma. Tapi dia perlu jalinan interdisipliner lain sebagai paradigma,” paparnya.

Kedua narasumber kemudian menjelaskan tentang musik dan pesta di Maumere sebagai respon pertanyaan dan tanggapan dari partisipan dalam forum tersebut.

Eka membeberkan sejumlah temuan saat Komunitas KAHE melakukan riset tentang pesta di Maumere. Frasa koreografi sosial sebenarnya mereka temukan saat riset tersebut.

Bentuk pesta di Maumere, menurut dia, sebenarnya cerminan dari perubahan sosial yang terjadi. Pesta, puluhan tahun lalu, adalah perayaan kampung yang melibatkan semua warga kampung. Di sana orang-orang berjoget dengan iringan musik semalam suntuk dan bersukacita bersama. Misalnya, pesta pernikahan satu keluarga merupakan pesta semua warga kampung.

Bisnis makanan katering menggantikan peran warga kampung yang bergotong royong memasak di dapur, pemukiman kota yang heterogen dan multi-etnis tidak memungkinkan pesta dirayakan secara kolektif komunal lagi seperti pesta kampung. Gaya hidup masyarakat yang individualistik-kapitalis membuat pesta menjadi semakin eksklusif.

“Pesta kolektif itu berubah jadi individualistik karena perubahan gaya hidup. Ada pola interaksi kolektif yang berubah,” beber Eka.

Pater Ve Nahak memotret syair-syair lagu dalam musik Maumere yang lekat dengan kehidupan sehari-hari, bermakna syukur dan pujian. Misalnya lagu Ikan Nae di Pante yang dipopulerkan PAX Grup dan Alfred Gare. Hal ini berbeda dengan lagu-lagu Amerika Latin yang erotis dan sensual. Musik Maumere kini banyak diputar untuk mengiringi gerak tubuh warga yang menari di bawah tenda pesta. Ini yang membuat musik dan pesta di Maumere/Flores saling melengkapi satu sama lain.

Menyambung apa yang diutarakan Pater Ve, Eka menyanjung inisiatif para musisi di Maumere/Flores yang mampu merekam ritme/irama/melodi kultural yang pernah ada di pesta-pesta kampung sehingga masih bisa dinikmati sampai sekarang.

Forum Kulababong ini dihadiri puluhan anggota komonitas Teater Aletheia Ledalero dan para partisipan dari Maumere.

Kulababong (bahasa Krowe-Sikka yang berarti duduk omong, musyawarah) adalah forum dialog dalam Maumerelogia 5 yang membahas Kota Maumere berdasarkan riset-riset yang sudah dan sedang dikerjakan Komunitas KAHE Maumere selama hampir 10 tahun itu. Hasil riset Komunitas KAHE Maumere memperluas spektrum gagasan tentang Kultur, Kota, Kita sekaligus menyingkap ‘koreografi sosial’ Kota Maumere.

Share :

0 0 votes
Article Rating
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x