Festival Maumerelogia 5 merupakan ruang pertemuan gagasan dan tempat cerita-cerita warga terbentuk dan diulang lagi. Mengikuti festival Maumerelogia 5 serasa menjajaki kembali pengalaman-pengalaman kemarin, lalu direproduksi kembali menjadi gagasan baru dan pengalaman yang terbarukan.
Seluruh perhelatan festival Maumerelogia 5 selanjutnya dinikmati sebagai lanskap persilangan gagasan antar komunitas seni pada bidangnya masing-masing.
Komunitas teater Pata sebagai wadah pengembangan seni pertunjukan teater di Maumere, turut merasakan pembaruan pengalaman selama mengikuti perhelatan festival Maumerelogia 5.
Pengalaman-pengalaman itu membekas dan menjadi insipirasi untuk berkarya lagi dan mempertajam karya-karya komunitas Pata kedepannya.
Selain terlibat secara intens pada sajian selama festival Maumerelogia 5, komunitas Pata menjadi salah satu kolaborator yang mendapatkan kesempatan untuk tampil di panggung Maumerelogia 5.
Komunitas teater Pata mendapatkan kesempatan yang luar biasa dan selayaknya mengucapkan terima kasih kepada komunitas Kahe sebagai inisiator utama festival Maumerelogia 5 dan kepada semua tim produksi festival Maumerlogia 5 yang telah memberikan kepercayaan kepada komunitas teater Pata.
Terima kasih secara khusus juga disampaikan kepada fasilitator hebat Shohifur Ridho’i, ‘orang enak’ yang menjadi teman sekaligus saudara selama menjalankan proses produksi kreatif mencipta karya pertunjukan teater.
Selanjutnya melalui tulisan ini, kita akan sama-sama bercerita dan berbagi pengalaman selama komunitas teater Pata terlibat pada festival Maumerelogia 5 dan bagaimana diskusi-diskusi tercipta selama proses residensi bersama Shohifur Ridho’i.
Sebelumnya mari kita berkenalan dengan komunitas teater Pata dan Shohifur Ridho’i.
Komunitas Teater Pata
Komunitas teater Pata adalah wadah pembelajaran kreatif tentang kesenian pertunjukan teater. Komunitas ini dibentuk dengan semangat belajar mandiri dan kesatuan semangat mengembangkan seni teater sebagai media eksplorasi kebebasan seni. Nama komunitas teater Pata baru saja muncul dan ditetapkan pada 22 Oktober 2023. Sebelumnya kelompok ini hanya terbentuk sebagai kelompok diskusi yang tergabung dalam group WhatsApp (WA).
Nama Komunitas Pata sendiri diambil dari tata bahasa daerah Ngada-Bajawa, Pata (pepatah, nasihat, pesan dalam bentuk syair-syair daerah). Selanjutnya berkat inisiatif beberapa alumni STFK Ledalero dan beberapa mahasiswa aktif yang sedang menyelesaikan skripsi, kelompok diskusi ini memperluas konsep keberlanjutan kelompok diskusi menjadi komunitas seni pertunjukan teater.
Waktu berjalan, komunitas Pata intens membuat diskusi-diskusi intern dan kajian-kajian interdisipliner tentang teater serta unsur-unsur pembangun teater itu sendiri. Selain itu, komunitas Pata turut membangun jejaring relasi dengan komunitas lainnya di Maumere, seperti Komunitas Kahe, dan beberapa instansi pendidikan, baik pendidikan formal maupun non formal.
Memasuki usianya yang ketiga tahun, komunitas teater Pata telah terlibat dalam kegiatan-kegiatan diskusi lintas komunitas, mementaskan 4 teater, monolog, pelatihan jurnalistik dan workshop sastra di kabupaten Sikka dan kabupaten Ngada, serta terlibat dalam pertunjukan-pertunjukan seni lainnya.
Shohiur Ridho’i
Teman-teman komunitas Pata memanggilnya bang Ridho, seniman hebat yang menjadi teman sekaligus kakak selama jalan panjang menuju festival Maumerelogia 5. Nama lengkapnya Shohifur Ridho’i, beliau adalah sutradara pertunjukan, penulis, dramaturg dan kurator yang berkarya di Madura dan Yogyakarta.
Bang Ridho menamatkan pendidikannya pada jurusan Filsafat di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bang Ridho mengembangkan karya-karyanya artistiknya seperti pertunjukan teater, tari, puisi, esai, foto, gambar bergerak, dan karya repertoar sosial.
Selain karya-karyanya yang luar biasa, bang Ridho juga mengembangkan Rokateater pada tahun 2016, sebuah paltform untuk produksi seni pertunjukan yang bertujuan mendorong karya kreativitas kalangan kaum muda dan seniman Indonesia.
Selain itu bang Ridho juga menjadi salah satu penggagas Lembana Artgroecosystem, sebuah inisiatif kolektif yang memposisikan seni sebagai metode riset interdispliner untuk menelusuri ulang lanskap sejarah dan koreografi sosial.
Pertemuan komunitas Pata bersama bang Ridho terbentuk dalam diskusi silang menyilang ide dan gagasan. Untuk menciptakan karya residensi tentunya bukanlah hal yang mudah bagi komunitas teater Pata jika berjalan hanya sendirian.
Komunitas Pata menyadari diri sebagai pemula yang masih harus menimbah banyak refrensi dan pengetahuan tentang karya penciptaan sebuah pertunjukan.
Kehadiran bang Ridho menjadi kesempatan yang berharaga bagi komunitas Pata untuk mengenal lebih jauh tentang komposisi dan bentuk pertunjukan teater yang berbasis pada riset dan pengalaman-pengalaman sosial setiap aktor dan bahkan sutradara sendiri.
Pertemuan komunitas teater Pata bersama bang Ridho selebihnya adalah kerja penciptaan karya dengan cara mencari dan menukar, membongkar dan membentuk. Berikut ini mari kita telusuri secara bersama bagaimana proses ini berjalan.
Mencari dan Menemukan
Jauh sebelum berkenalan dengan bang Ridho, komunitas teater Pata telah melakukan riset tentang tenun dan menenun. Gagasan ini menjadi hasil diskusi internal komunitas teater Pata setelah membaca dan memahami catatan kuratorial Festival Maumerelogia 5.
Masing-masing aktor mulai menelusuri kajian-kajian tentang tenun di Maumere dan berjumpa dengan para penenun di tempat mereka masing-masing.
Proses pertukaran ide dalam diskusi dibuat secara terus menerus hingga minggu-minggu akhir menyongsong Festival Maumerelogia 5.
Sebagai pembelajar yang masih terus menggali dan belajar, komunitas Pata membangun komunikasi dengan komunitas Kahe, agar proses penciptaan karya residensi ini bisa menjadi gagasan baru yang bisa dinikmati oleh masyarakat Maumere secara khusus bagi komunitas teater Pata sendiri.
Di tengah persiapan dan diskusi yang terus berjalan, kami mendapatkan informasi dari kaka Mario Gee bahwa komunitas Pata mendapatkan tawaran lain untuk berkolaborasi dengan seorang seniman pertunjukan teater dari Yogyakarta.
Saat itu teman-teman komunitas Pata belum mengenal sosok Shohifur Ridho’i yang selanjutnya menjadi fasilitator selama proses penciptaan karya pertunjukan.
Berdasarkan hasil pertemuan internal komunitas teater Pata, tawaran ini diterima dan komunitas teater Pata menyatakan siap belajar bersama bang Ridho.
Membuka pertemuan awal dengan bang Ridho, komunitas teater Pata diberi sepuluh pertanyaan untuk menggali lebih dalam tentang pengalaman pribadi dengan Maumere sebagai kota dengan segala kekayaan kulturnya.
Pengalaman selama tinggal di Maumere dikaji secara personal untuk melihat seberapa jauh kami mengenal Maumere. Kedatangan bang Ridho membuka diskusi terbarukan. Ruang diskusi dilakukan di berbagai tempat seperti di dalam ruangan aula, di beranda rumah, di trotoar dan di pinggiran jalan.
Pertukaran ide juga dilakukan di sepanjang jalan menuju patung Nilo, Ledalero, dan di dalam group WA. Hal ini menjadi pengalaman yang menarik. Komunitas Pata terbius dengan cara pendampingan bang Ridho yang begitu luwes, santai, dan bebas dengan tetap menjaga konsistensi ide dan gagasan.
Masing-masing aktor saling sharing dan mengungkapkan apa yang menjadi keresahananya. Metode ini menjadi awal dari pencarian dan penemuan komunitas teater Pata bersama bang Ridho. Meskipun demikian, dinamikan produksi tetap dilakukan pada setiap latihan.
Bang Ridho memberikan pandangan yang baru tentang teater dan segala kompisinya. Hal ini merujuk pada kebebasan mencipta karya seni. Intimidasi dan pembatasan terhadap karya seni dibekukan dengan tetap memperhatikan nilai-nilai dan etika yang pada akhirnya membuat karya pertunjukan kami menjadi pemantik diskusi publik.
Kegiatan-kegiatan diskusi dan latihan semakin intens, dan kami menemukan judul pementasan pertama yakni Ex Altare.
Menurut bang Ridho, judul ini dapat dijadikan pemantik untuk mengulas lebih dalam lagi tentang kedekatan personal kami dengan segala bentuk keresahan di Maumere. Tentunya cerita yang terbentuk diangkat dari berbagai perspektif dan cara kami memposisikan diri.
Membongkar dan Membentuk
Sementara proses latihan dan diskusi berjalan, Ex Altare masih menjadi judul alternatif karya pertunjukan. Belum ada tawaran judul lain, sementara bang Ridho dan teman-teman komunitas Pata masih merancang-rancang ide dan gerakan untuk karya pertunjukan.
Dinamika latihan dan pertukaran ide nampaknya menjadi pegangan utama dalam kerja-kerja kolaboratif.
Menurut bang Ridho, “Kita harus bisa menemukan bentuk pertunjukan yang layak ditonton. Dan sebagai seniman pertujunkan teater, saya merasa yakin dengan kalian. Intinya kita berani mengeluarkan pendapat dan ide gagasan secara bebas.”
Dorongan semangat ini menjadi tumpuan bagi komunitas teater Pata untuk memastikan waktu latihan secara terus menerus selama kurang lebih dua minggu.
Pada pertengahan jalan, komunitas teater Pata berjumpa juga dengan kaka Erik Langobelen, seorang akademisi dan juga aktivis kebudayaan.
Pemikiran-pemikiran kaka Erik memberikan peluang dengan kajian interdispliner yang akurat. Kaka Erik melihat realitas Maumere dari pintu gereja, orang-orang kecil, dan masyarakat tertindas.
Selain itu, cara pandang kaka Erik menyoal praktik-praktik gereja yang butuh himbauan secara terus menerus sebagai jalan lain dari refleksi institusional.
Pada suatu kesempatan diskusi kaka Erik menyampaikan, “Kita tidak sedang memperbaiki ribuan kasus dan polemik dalam sebuah instusi gereja. Pementasan kita sebenarnya menjadi titik tolak diskusi atau pemantik agar orang-orang dapat melihat gereja secara transparan.”
Mendekati minggu akhir menyonsong pembukaan Festival Maumerelogia 5, bang Ridho dan komunitas teater Pata, sudah menemukan bentuk yang nantinya akan menjadi hasil dari produksi pertunjukan.
Hasil diskusi dan pertukaran ide yang berlanjut menghasilkan sebuah pertunjukan dengan judul Lectio Divina. Meskipun demikian, kegiatan membongkar dan membentuk terus dilakukan oleh bang Ridho dan para aktor komunitas teater Pata. Lectio Divina ditampilkan di atas panggung sebagai teater dengan mengadopsi gerak, dan aktivitas-aktivitas liturgi Gereja.
Lebih jauh Lectio Divina adalah pertunjukan yang merapal lembar-lembar doa sekaligus dosa. Delapan umat dengan delapan luka menggumamkan litani tubuh dan suara yang genting yang bersijingkat di antara iman dan pertanyaan antara pengakuan dan kesaksian. Pertunjukan ini merupakan hasil kolaborasi Rokateater dan Komunitas Teater Pata.
Penulis : Ando Sola