“Kita harus bisa bikin mading menarik. Apa yang tidak ada di media sosial, kita coba bikin di mading,” kata Eka Putra Nggalu, Fasilitator Workshop Mading, saat memberi materi pada hari pertama. Banyak sekolah menengah di Maumere yang masih menjalankan mading (majalah dinding) meski media sosial semakin marak.
Workshop Mading dilaksanakan pada 11-12 April 2025 bertempat di Aula Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Sikka. Workshop ini diikuti oleh siswa SMA Negeri 1 Maumere, SMAK John Paul II, dan SMAK Monte Carmelo didampingi masing-masing guru pendamping yang bertugas sebagai pembina mading sekolah.
Para siswa dan guru yang hadir sebagai peserta pun membagikan suka-duka saat mengerjakan mading. Mading dianggap sebagai ruang untuk mengekspresikan diri. Ragam rubrik pun telah dikembangkan seperti cerpen, puisi, opini, dan model artikel lainnya. Ada juga kolom pantun, karikatur dan anekdot.
Namun penerbitan mading seringkali menjadi kendala karena hanya dianggap sebagai tugas OSIS atau guru pengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia. Terkadang, pengerjaan mading dilakukan secara rapel dan oleh siswa yang itu-itu saja sehingga jangkauan mading pun tidak meluas. Tak hanya itu, mading yang sudah dipublikasikan seringkali sepi dan sangat jarang ada pembaca yang berlama-lama di mading.
“Kadang kami juga sudah mengikuti format atau aturan yang ada bahwa di mading hanya boleh ada cerpen, puisi, opini. Padahal ada banyak konten yang bisa dibikin untuk menarik interaksi,” ujar Pol Baon, guru pendamping dari SMAK John Paul II.
Pada hari kedua, Carlin Karmadina membagikan pengalamannya sebagai Redaktur Pelaksana Lau Ne, media yang dikelola oleh Komunitas KAHE. Ia berbagi mengenai tim kerja yang ada di tim redaksi, editorial dan rubrikasi, serta latihan membuat timeline kerja sekaligus alur kerja.
Mading, sama halnya seperti sebuah organisasi media lainnya namun dengan lingkup yang lebih kecil, mesti memiliki tim inti yaitu pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, editor, kontributor, dan layouter. Masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menopang berjalannya sebuah mading. Semakin banyak rubrikasi dan kebutuhannya, semakin banyak orang yang bergabung di dalam tim, misalnya kebutuhan kontributor foto jika ingin menambah visual pada mading.
Salah satu peserta mengakui bahwa pembagian tim seperti itu tidak pernah dilakukan sehingga sulit untuk menjalankan mading. Hal inilah yang seringkali membuat individu yang sudah tergabung di dalam tim mading pun mesti menulis. Pembagian tim kerja ini kemudian dilihat sebagai sesuatu yang penting.
Eka pun menambahkan bahwa tim redaksi bekerja sebagai penggagas, perancang dan bukan untuk menulis. Tim redaksi bekerja di tahap mengkurasi.
Satu hal yang sangat jarang dilirik saat mengerjakan mading adalah arsip. Padahal arsip bisa jadi sebuah materi yang bisa dibaca kembali dan ditampilkan di mading. Eka memberikan contoh pemberitaan tentang Tsunami 1992 yang pernah terjadi di Maumere. Arsip itu bisa dijadikan konten mading jika editorial edisi mading saat itu menyoal seputar kota Maumere.
Eka juga memberikan tips-tips memilih tema yang menarik. Pemilihan tema bisa dilakukan dengan menggunakan alat bantu pertanyaan yaitu 5W+1H. Tema pun bisa dipilih dari tema yang tidak jauh-jauh dengan lingkup sekolah dan keseharian siswa-siswi, misalnya tentang pasar tradisional yang masih ada di Maumere, dapur di pesta-pesta, atau artis idol K-pop.
Usai workshop mading selama dua hari, para peserta pun bersiap untuk mengembangkan mading dan mengaplikasikan materi-materi workshop yang sudah mereka terima. Dua siswa yang menjadi pengelola mading di SMA Negeri 1 mengaku sangat terbantu dengan workshop ini, terutama mereka akan mengembangkan tim redaksi dan rubrikasi.
Workshop mading merupakan bagian dari pra Festival Maumerelogia 5. Ketiga sekolah yang telah mengikuti workshop mading akan menghasilkan mading yang nantinya akan diikutsertakan dalam Festival Maumerelogia 5, pada 15-24 Mei 2025.