The Brief History of Dance Merayakan Ingatan, Menari Bersama Kenangan

Maumere, 19 Mei 2025— Senin malam di Aula Rumah Jabatan Bupati Sikka menjadi ruang pertemuan antara kenangan masa kecil, jejak tubuh, dan ingatan kolektif warga dalam pertunjukan residensi The Brief History of Dance (TBHOD). 

Karya kolaboratif ini digarap oleh Ari Dwianto bersama Studio Teater KAHE dan dibawakan oleh enam penampil dengan perbedaan latar belakang lokal yang kuat: Michael Eduard Gaja Seto, Yenti Andriana Nino, Silvy Chipy, Kristina Beatrix Tethy Nong Gka, Yasinta Aprilia Carmela Mude, dan Hironimus Huku.

Pertunjukan ini merupakan hasil residensi dan eksplorasi personal masing-masing aktor, yang menggali tubuh, memori, dan irisannya dengan budaya pop sebagai materi utama pertunjukan. 

Naskah TBHOD menyuguhkan sebuah penggalian memori yang mendalam dan jujur. Intan, lahir di Maumere pada 2004, tumbuh di lingkungan Centrum Ujung Aspal—sebuah tempat yang bukan sekadar titik geografis, tapi juga simpul kenangan, relasi sosial, dan bahkan cerita horor lokal. Narasinya memuat deskripsi detail tentang rumahnya yang dekat bengkel las, kios keluarga, riwayat keluarga, hingga kisah tentang hantu di rumah kosong yang telah lama ditinggalkan.

Karya ini merupakan sebuah dokumentasi naratif lintas generasi yang menyelami ingatan personal dan kolektif para narator dari generasi yang berbeda—80-an, milenial, hingga Gen Z—mengenai cara mereka mengalami, merayakan, dan meresapi kehidupan kota mereka, khususnya di Maumere. 

Melalui pendekatan wawancara dan penggalian cerita-cerita keseharian dari para aktor, The Brief History of Dance (TBHOD) tidak sekadar memetakan perubahan budaya dan teknologi hiburan yang mempengaruhi mereka, tapi juga mencerminkan dinamika sosial yang membentuk identitas.

Narasi Yasinta Aprillia Carmela Mude (Gen Z) adalah contoh nyata bagaimana pengalaman personal dijadikan dasar untuk menggambarkan transformasi kota dan budaya. Ia menuturkan secara jujur dan penuh warna tentang kehidupan di ujung Aspal jalan Lamtoro—sebuah ruang domestik yang perlahan menjadi medan tumbuhnya memori kolektif tentang masa kecil, perubahan ekonomi keluarga, serta bentuk-bentuk hiburan sederhana yang perlahan bergeser.

Misalnya, permainan barbie kertas dan “cewe-cewe ujung aspal” mencerminkan bagaimana Gen Z merayakan budaya pop lokal yang dipengaruhi arus global (girlband, drama Korea, dan media sosial). Sementara keberadaan hantu di lorong dan rumah kosong menjadi metafora akan ruang-ruang urban yang ditinggalkan waktu, namun tetap menyimpan daya hidup dalam cerita rakyat.

Yang menarik, karya ini tidak berdiri sebagai testimoni tunggal. Ia menyandingkan pengalaman berbagai generasi: Generasi 80-an, misalnya diwakili Hironimus Huku, mengenang masa-masa ketika televisi masih menjadi barang mewah dan bioskop merupakan tempat utama untuk menikmati hiburan.

Generasi Milenial mengalami peralihan dari dunia analog ke digital. Mereka tumbuh bersama warnet, CD, dan awal kemunculan ponsel pintar. Mereka mungkin mengingat bagaimana budaya “nonton bareng” atau menyaksikan sinetron dan pertandingan bola bersama keluarga masih menjadi momen kolektif yang penting.

Generasi Z seperti Yasinta menggambarkan kota sebagai lanskap yang lebih digital, lebih terhubung, namun juga lebih individualistik. Mereka merayakan hiburan.lewat Netflix, TikTok, dan fandom K-pop, tapi tetap menunjukkan keterikatan pada tradisi lokal seperti nobar bola dan bermain di lorong.

Di lain tempat, ada Intan dengan kenangan masa kecil penuh dengan warna: bermain boneka kertas, mendandani karakter Barbie, menonton kartun Sofia The First hingga upin Ipin, dan mengikuti gaya girlband seperti Blink dan Cherrybelle lewat geng “Cewe-Cewe Ujung Aspal”. Semua ini memperlihatkan bagaimana ingatan personal mencerminkan zeitgeist (semangat zaman) sebuah generasi—yakni Generasi Z yang berdiri di antara masa lalu analog dan masa kini yang serba digital.

Dari Layar ke Lantai: Tubuh Kolektif dalam Gerak

Pertunjukan ini tidak hanya merayakan ingatan individu, tetapi juga menganyamnya menjadi narasi kolektif. Di masa kecil Intan, momen-momen seperti nobar Piala Dunia di depan rumah atau menanti kedatangan Presiden Jokowi (yang akhirnya batal datang) menjadi semacam ritual kebersamaan, sebuah performativitas sosial yang alami.

Dari sekadar permainan Kasti dan Sese di lapangan kosong hingga pergeseran ke hiburan digital seperti Facebook dan drama Korea, tubuh para penampil membawa transisi ini ke atas panggung—sebagai tubuh yang tumbuh bersama perubahan kota, negara, dan zaman.

Yang menarik dari naskah TBHOD adalah bagaimana kehidupan keluarga juga turut menjadi latar yang menyentuh. Intan berasal dari keluarga sederhana, dengan ayah yang bekerja keras sebagai cleaning service dan ibu yang berhenti sekolah sejak kecil. Narasi ini membumi dan menyuarakan lapisan-lapisan sosial yang jarang diangkat ke panggung pertunjukan tari atau teater.

Di sini, tubuh bukan hanya alat estetika, melainkan medium sosial—mewakili suara yang jarang terdengar. Ketika orang tua membeli speaker untuk hiburan bersama atau ketika tren “baju banana” dan poni Dora menjadi gaya ikonik remaja SMP, kita tidak hanya diajak menertawakan masa lalu, tetapi juga memahami bagaimana komunitas dibentuk dari hal-hal kecil yang akrab dan personal.

Dengan mengangkat ingatan lokal menjadi bahasa pertunjukan, TBHOD menunjukkan bahwa sejarah tari bukan hanya soal bentuk gerak yang diwariskan formalitas akademik, melainkan juga gerak tubuh sehari-hari—dari menari meniru girlband, menonton TV bersama ibu hingga berjalan melewati lorong angker depan kios.

The Brief History of Dance bukan hanya karya pertunjukan, tapi juga arsip budaya, dokumentasi sejarah kecil yang melekat di tubuh dan ruang kota. Penonton tidak hanya diajak menyaksikan, tapi ikut menghidupi kembali potongan masa lalu—yang bisa jadi adalah masa lalu mereka juga.

 

Share :

3.5 2 votes
Article Rating
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x