Diskusi publik bertajuk Analectica: Menciptakan Masa Lalu yang Lebih Baik berlangsung di Aula Karmel, Wairklau, pada Kamis, 15 Mei 2025. Diskusi ini menjadi bagian dari Pembukaan Pameran BARU, BARU. yang juga dibuka oleh Wakil Bupati Sikka, Simon Subandi.
Diskusi ini menghadirkan empat orang pembicara yaitu Grace Samboh (kurator BARU, BARU.), Yolanda Adam (anggota PERWAKAS), Bunga Siagian (peneliti), dan Amandus Klau (akademisi) serta dipandu oleh Eka Putra Nggalu (direktur Maumerelogia 5).
Eka Putra Nggalu membuka diskusi dengan menjelaskan konsep Enrique Dussel tentang analectica sebagai kritik terhadap dialektika Hegel dalam filsafat Barat. Menurutnya, analectica menyoroti bagaimana sejarah pinggiran bisa digunakan untuk merancang masa depan dengan menciptakan masa lalu yang lebih baik.
Grace Samboh menyampaikan bahwa Maumere merupakan kota ketiga setelah Jakarta dan Majalengka yang menjadi tuan rumah pameran tersebut. Ia menjelaskan bahwa pameran ini mengajak pengunjung untuk meninjau kembali sejarah—baik sebagai tragedi maupun komedi—dalam konteks demokrasi. Dia ingin mengajak pengunjung melihat bagaimana irisan antara sejarah yang terjadi berulang-ulang. Pameran BARU, BARU. merupakan ekspresi dari perasaan heran, kemarahan, kegelisahan, kepasrahan, yang juga dibalut dengan mental bercanda, terhadap demokrasi.
Premis awal dari pameran ini adalah mempertanyakan kejadian yang berulang. Menariknya, Grace memberikan sebuah candaan anekdot tentang seorang remaja yang bernama “Reformasi” yang gaung dan ekspresinya sangat tidak dilihat di kota bernama Maumere. Pameran BARU, BARU. ingin membantu remaja bernama “Reformasi” ini agar tidak melihat kepasrahan, atau menerima apa yang dilakukan oleh negara yang katanya demokrasi ini sebagai sesuatu yang submissive. Grace juga menjelaskan karya video berjudul “Terpesona dalam Kegelisahan” oleh Nadia Bamadhaj (2022) yang menampilkan tentara menari dalam gerak lambat sebagai refleksi ketakutan atas estetika seragam.
Yolanda Adam membagikan sejarah terbentuknya komunitas tersebut sejak tahun 1980-an di kampung nelayan Wuring. Ia menyoroti dinamika penerimaan dan penolakan dari masyarakat serta keberadaan PERWAKAS sebagai bagian dari struktur sosial Maumere. Keterlibatan PERWAKAS sudah berlangsung sejak puluhan tahun silam; mereka mengelola dapur umum saat tsunami melanda Maumere pada tahun 1992, menjadi kader Posyandu, dan hadir dalam setiap hajatan yang diselenggarakan masyarakat lainnya. Yolanda juga menyampaikan bahwa interaksi sosial yang terjadi antara kaum waria dan struktur masyarakat sosial tergolong lebih cair saat tahun 1990-an.
Pada kesempatan itu, Yolanda juga mengungkapkan ketakutannya terhadap relasi kuasa maupun pengaruh agama atas kehadiran PERWAKAS dan kelompok ragam gender dan seksualitas. Yolanda berharap agar maumere menjadi kota yang damai dan menerima keberagaman sebagai sebuah kultur yang sudah tercipta sejak jaman dulu.
Bunga Siagian, peneliti film, memaparkan tentang pencarian film Turang (1957)–film ayahnya sendiri, Bachtiar Siagian–yang sempat hilang dan akhirnya ditemukan di Rusia. Menurutnya, film ini adalah bentuk warisan anti-kolonial yang selama ini terabaikan oleh narasi sejarah arus utama. Ia menekankan pentingnya akses terhadap arsip sebagai upaya pelestarian sejarah dari perspektif rakyat tertindas. Bunga siagian berujar pernah terjadi gerakan anti kolonial sejak jaman orde baru.
Selama ini kita diberikan tontonan, sejarah ditulis oleh pemenang, memperlihatkan kegagahan tentara dalam membela bangsa ini, namun pikiran kita dibungkam. Bahwa ternyata pada suatu periode tertentu di masa lalu ada perlawanan oleh kaum-kaum anti kolonial, yang melihat sejarah dari persepktif masyarakat biasa yang tertindas.
Diskusi semakin mendalam ketika Eka melemparkan pertanyaan tentang solidaritas dalam kerja-kerja dari setiap pembicara. Bunga menilai bahwa banyak negara pascakolonial gagal menepati janji kemerdekaannya. Grace menambahkan bahwa kata ‘solidaritas’ kerap hanya menjadi jargon, dan mengusulkan penggunaan istilah “kesetiakawanan” sebagai pendekatan yang lebih manusiawi dan kolektif.
Amandus Klau mengaitkan tema diskusi dengan sejarah lokal, seperti pemberontakan petani-nelayan di Natar Sikka pada 1888. Dosen di IFTK Ledalero ini menilai bahwa masyarakat Maumere perlu mengatasi rasa inferioritas yang kerap divalidasi oleh kedatangan kolonial.
Ia menyebut Pameran BARU, BARU. sebagai jalan masuk mengintervensi negara demokrasi ini melalui seni. Menurutnya seni mampu merayakan kedukaan, “hanya melalui seni seseorang mampu menertawai luka sekaligus menyembuhkannya.”
Amandus juga mengajak kita agar mampu melatih kesadaran supaya bersikap lebih intuitif dalam menghadapi percepatan. Menanggapi kelompok Perwakas, Amandus lalu berkomentar, “Kelompok ini diterima namun dijadikan proyek. Apakah penerimaan ini tulus? Sejak zaman dahulu, sudah tercatat dalam motif-motif tenun ikat tentang kesetaraan ini, yaitu motif Dala Mawarani, bahwa dalam motif Dala Mawarani yang berarti bintang kejora merupakan bentuk dari 2 segitiga, di mana segitiga sendiri memiliki 3 titik yang setara, tidak timpang antara 1 dan lainnya. Bahwa ketiga titik itu bukan hanya melambangkan gender perempuan dan laki-laki lalu mampu berdiri sebagai satu kesatuan yang utuh, namun harus membutuhkan satu kelompok yang selama ini hidup berdampingan dengan kita, kelompok queer atau waria sebagai sesuatu yang setara.”
Menutup diskusi, Grace Samboh menekankan pentingnya memahami sejarah nasional untuk kemudian menangkap dinamika lokal. Ia mempertanyakan sejauh mana peran warga Maumere dalam menjaga kotanya sendiri sebagai bentuk nyata demokrasi. Sementara itu, Eka Putra Nggalu menutup acara dengan mengadopsi istilah “repairing” dari Bunga Siagian, mengajak peserta untuk bersikap reparatif dalam menanggapi sejarah yang keropos.
Diskusi ini menjadi ruang reflektif sekaligus kritik atas dinamika sosial, politik, dan budaya di tengah sistem demokrasi yang kerap diromantisasi, namun jarang dipertanyakan secara mendalam.









