Merekam ‘Melodi Kota’ Maumere

“Orang Maumere itu dekat sekali dengan musik. Maumere tidak bisa lepas dari musik. Orang mengenal Maumere lewat musik”—Bianca da Silva, Cru Father Said

Ricky Alvino menyusuri lorong-lorong sempit di Kampung Wuring. Langkah kakinya enteng menerobos jalanan lubang, berbecek. Beberapa kali tubuhnya refleks menghindari mobil dan sepeda motor yang berebut jalur dengan pejalan kaki. Senyumnya tetap hangat merekah, warga menyambutnya ramah, di tengah kampung.

Dia melintasi jembatan bambu yang menghubungkan rumah-rumah terapung, bertegur sapa dengan para penghuni rumah yang tengah menanti waktu berbuka puasa. Rumah-rumah terapung berjejer rapi di atas pesisir utara Kota Maumere. Ricky menyapu pandangannya ke arah Teluk Maumere. Sebuah masjid besar terpacak kokoh di ujung kampung. Orang-orang menyebutnya: Masjid Terapung.

Kampung Wuring merupakan pemukiman Suku Bajo/Bugis yang menjadikan laut sebagai ruang hidup. Kampung nelayan ini bagian dari denyut hidup Kota Maumere.

Sabtu sore itu, matahari sudah condong banyak ke barat. Awan mendung sempat menggelayut membawa rintik hujan, lalu lenyap. Ricky Alvino mengunjungi Wuring bukan tanpa sebab. Drummer Mood Breaker ini ada di sana bersama dengan 10 musisi—peserta Workshop Penciptaan Musik Melodi Kota, workshop artistik yang digelar Komunitas KAHE sebelum Maumerelogia 5.

Workshop ini difasilitasi langsung oleh Febryan Stevanus, 22-25 Maret 2025, di Pusat Jajanan dan Cinderamata (PJC) Maumere. Tur ke kampung Wuring (Susur Selubung) merupakan satu sesi bagi para seniman menangkap bunyi/suara/gairah Kampung Wuring dan segala dinamika warganya.

Para seniman mengaktifkan seluruh indranya, menjadi lebih peka untuk mencipta karya musik. Bunyi klakson kendaraan, suara azan magrib, celotehan ibu-ibu di depan rumah, langkah kaki nelayan di geladak kapal dan teriakan penjual ikan.

Sehari setelahnya, mereka menyampaikan hasil cerapan indrawinya. Ricky tertarik dengan suara alam; burung bersahut-sahutan, desir angin laut, gemuruh kapal di Pelabuhan Wuring, hentakan kaki di jembatan kayu dan suara kendaraan bermotor.

Peserta lainnya, Ari Simon, menangkap cericau ibu-ibu dan bapak-bapak yang bercengkerama di depan rumah, bunyi percikan air di dalam kubangan jalan berlubang. Axel—guru dan keyboardis— menangkap celoteh ibu-ibu yang mengobrol, para lelaki yang sedang membersihkan sampan, dan rumah yang berdempetan.

Febryan Stefanus yang juga ikut dalam tur kampung merasa tertarik dengan anak-anak kecil di Kampung Wuring yang berlarian ke sana kemari. Bagi dia, itu ‘bunyi’ yang menarik dan alami.

Dalam pemaparan materi, Febryanus menyebut, tur kampung merupakan bagian dari kajian humaniora sebagai pengantar untuk mencari dan menggali gagasan untuk karya musik.

Febryan mengajak para peserta untuk mengklasifikasikan soundscape dan artikulasi budaya. Soundscape sendiri berarti suatu landskap yang menghubungkan subjek dengan lingkungan bunyi di sekitarnya dengan ragam bunyi akustik yang acak sekaligus beraneka ragam.

“Lebih sederhana lagi soundscape didefinisikan sebagai polusi bunyi yang berasal dari gerak masyarakat modern,” ujar Febryan.

Ada tiga unsur soundscape yang dipaparkan Febryan yaitu biophony, geophony, dan antrophony. Secara sederhana dijelaskan, biophony adalah suara makhluk hidup, suara binatang. Geophony berasal dari suara alam seperti percikan air, suara hujan atau desir angin. Sedangkan, antrophony bersumber dari bunyi yang dihasilkan oleh aktivitas manusia. Dalam penggarapan karya musik, ketiga unsur ini bisa dipakai.

Kurator Musik Maumerelogia Kartika Solapung menjelaskan Worksop Musik Melodi Kota adalah bagian dari workshop artistik Pra Maumerelogia 5 yang mempertemukan beberapa musisi di Kota Maumere. Di dalam workshop ini, para musisi dan fasilitator mendiskusikan prinsip riset artistik dan mendiskusikan kota sebagai gagasan untuk menelusuri sejarah, budaya, konteks sosial di Maumere.

“Juga para musisi diajak untuk melihat kota sebagai teks kemudian menyuarakan kota. Kami membahas praktik dalam penciptaan musik bersama yang kemudian jadi pendekatan dalam menyusun komposisi musik untuk Maumerelogia 5,” papar Kartika.

Di festival nanti, para musisi akan membuat beberapa repertoar atau komposisi musik yang menggambarkan gagasan dari kuratorial Maumerelogia 5: Kultur, Kota, Kita–jalan, jalan berlubang! : dan nada-nada yang (pernah) tumbuh dari mulut Ibu.

Selain ‘merekam’ Wuring, mereka juga melakukan tur ke Kampung Kloangpopot yang sejuk dan sunyi. Para seniman menyerap suara-suara alam, berinteraksi dengan semua yang mereka jumpai. Salah satunya suara sekumpulan cacing tanah yang tidak mereka temukan di kota.

Penciptaan karya para musisi yang terlibat dalam Workshop Melodi Kota bisa dinikmati pada saat Maumerelogia 5 pada 15-24 Mei 2025. Mereka sedang menggarapnya.

Share :

5 2 votes
Article Rating
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x